Changemaker Library uses cookies to provide enhanced features, and analyze performance. By clicking "Accept", you agree to setting these cookies as outlined in the Cookie Policy. Clicking "Decline" may cause parts of this site to not function as expected.
Menanggapi semakin banyaknya bentrokan kekerasan yang timbul dari sengketa tanah antara petani pedesaan dan tuan tanah yang berkuasa, Herlambang telah merancang dan merintis program penyelesaian sengketa tanpa kekerasan, yang tujuan akhirnya adalah membantu masyarakat pedesaan dalam merebut kembali tanah yang pernah dirampas oleh pemerintah pusat Indonesia.
Penduduk kampung asal Herlambang merupakan keturunan buruh perkebunan yang terpaksa merantau dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada masa penjajahan Belanda. Sadar bahwa praktik budaya membedakan desanya dari desa lain di wilayahnya, Herlambang tertarik pada keterkaitan antara budaya, sejarah, dan ekonomi. Saat di SMA, dia sangat tertarik dengan ilmu kewarganegaraan, karena guru itu adalah orang pertama yang dia temui yang mendorong siswanya untuk berpikir kritis, bahkan untuk mengkritik hukum Indonesia. Dia masuk perguruan tinggi dengan beasiswa prestasi, dan menjadi editor surat kabar mahasiswa dan pemimpin senat mahasiswa selama masa kuliahnya. Semasa kuliah di fakultas hukum, Herlambang menjadi relawan di Lembaga Bantuan Hukum di Surabaya. Ia memperoleh pengalaman yang berguna bekerja di berbagai divisi, namun berasal dari keluarga petani di salah satu wilayah perkebunan di Jawa Timur, ia memiliki perhatian khusus terhadap kasus-kasus yang melibatkan petani dan sengketa tanah. Setelah lulus dari fakultas hukum, ia bergabung dengan staf bantuan hukum di mana ia menjadi koordinator divisi tani. Pada tahun 1998 ia menulis makalah untuk forum bantuan hukum nasional di Jakarta yang menggambarkan tiga skenario penyelesaian sengketa tanah: pencurian, bandit sosial, dan reklamasi. Gerakan yang dia gambarkan sebagai "Reklaiming" menarik banyak minat dan perdebatan. Dia telah menjadi pemrakarsa dan fasilitator utama dari pendekatan ini.
Merintis gerakan penyelesaian sengketa tanah secara damai, Herlambang mendidik petani menjadi negosiator non-kekerasan yang secara efektif mewakili kepentingan masyarakat pedesaan dalam diskusi tentang kepemilikan dan penguasaan tanah. Berfokus pada sejarah, budaya dan hukum lokal, Herlambang mempersiapkan petani untuk duduk di meja dengan tuan tanah yang kuat untuk menegosiasikan pemulihan tanah yang pernah dipegang oleh para petani. Tanpa membawa kasus ke pengadilan, Herlambang membantu masyarakat bekerja dalam kerangka hukum sambil mempromosikan pentingnya solusi tanpa kekerasan dan saling menguntungkan untuk konflik atas tanah. Pendidikan yang ditawarkan Herlambang merupakan salah satu sarana revitalisasi budaya, tujuan akhirnya memperkuat kelembagaan dan jaringan lokal, serta meningkatkan kemandirian dan keberlanjutan masyarakat petani pedesaan. Pendekatan alternatif Herlambang mensyaratkan masyarakat pedesaan diorganisir, serta dididik, sebelum melakukan negosiasi. Petani sendiri berperan sebagai pengelola utama. Mereka dipersiapkan untuk tugas ini dengan bekerja melalui program intensif yang menekankan pada kepemimpinan dan pemahaman yang menyeluruh tentang hak dan kewajiban hukum semua pihak. Persiapan yang matang sangat penting untuk memberi petani rasa solidaritas dan pemberdayaan. Menurut Herlambang, gerakan itu adalah perjuangan moral.
Salah satu masalah penting di Indonesia saat ini adalah ketimpangan struktur penguasaan lahan, ketimpangan yang mengakibatkan kemiskinan bagi petani pedesaan yang tidak memiliki lahan. Kesenjangan ini dapat ditelusuri secara historis hingga masa kolonial. Namun demikian, peraturan memberikan hak kepada petani untuk menggunakan tanah untuk penanaman pribadi. Di bawah rezim presiden pertama, tanah perkebunan Belanda direklamasi; petak-petak besar ditempatkan di bawah kendali negara, tetapi petak-petak kecil dikembalikan kepada rakyat. Kebijakan penguasaan lahan selama tiga dekade terakhir, bagaimanapun, telah membalikkan kebijakan yang memungkinkan masyarakat pedesaan untuk bertani secara efektif. Selama periode pertumbuhan yang fenomenal ini, pengambilalihan paksa atas tanah milik komunal dan tekanan pada petani pemilik tanah untuk menjual properti dengan harga yang sangat rendah telah menjadi praktik umum yang dilakukan oleh pemerintah, militer, dan pengembang kaya. Kebijakan agraria dan undang-undang pertanahan saat ini tidak jelas dan tidak banyak membantu melindungi kaum miskin pedesaan. Tidak ada kebijakan nasional yang menjamin distribusi tanah yang adil. Tidak hanya petani yang kehilangan haknya karena kehilangan akses dan kontrol atas tanah, tetapi hak asasi manusia mereka juga telah dilanggar oleh praktik penggunaan lahan yang represif. Faktanya, pelanggaran HAM seringkali menjadi bagian integral dari konflik atas tanah. Misalnya, ketika petak petani dirampas dan dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan, petani tidak dapat lagi bercocok tanam sayuran atau tanaman pangan yang mereka butuhkan, dan dapat mengakibatkan malnutrisi. Di daerah di mana perkebunan besar beroperasi, petani lokal sering didiskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan. Pengawas dapat memagari properti dan menghalangi akses petani ke air atau dalam beberapa kasus, situs dengan kepentingan ritual bagi masyarakat pedesaan. Biasanya, sengketa tanah di Indonesia telah macet secara tidak memuaskan dalam pertempuran hukum atau mengakibatkan ledakan kekerasan oleh petani putus asa. Beberapa organisasi masyarakat sipil telah mencoba mengarahkan petani untuk menempati lahan yang disengketakan, tetapi karena petani belum dipersiapkan atau dididik secara memadai, mereka menyerah atau disiksa atau dibunuh atas tindakan mereka. Persoalan lainnya, seringkali ketika organisasi-organisasi ini memimpin gerakan petani, petani semakin bergantung pada aktivis dan hanya menjadi pengikut. Ketika para aktivis meninggalkan komunitas, negosiasi terhenti, kemudian gagal. Kondisi masyarakat tidak lebih baik dari sebelum upaya reklamasi.
Sebagai bagian dari magang sebagai pengacara bantuan hukum, Herlambang mempelajari sengketa tanah bersejarah di Jawa dan menyadari bahwa petani hampir selalu kehilangan kasus yang dibawa ke pengadilan. Ia melihat agar efektif, masyarakat pedesaan harus terlibat dalam aksi partisipatif di luar sistem peradilan namun tetap dalam kerangka hukum. Sebagai ketua kelompok tani di kantor bantuan hukumnya, Herlambang dihadapkan pada kasus demi kasus yang melibatkan petani dalam konflik lahan di Jawa Timur. Bekerja secara intensif dengan kasus-kasus tersebut, ia akhirnya mengembangkan serangkaian prinsip dasar yang memandu gerakan reklamasi lahannya, yaitu aksi non-kekerasan, prinsip demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, penghormatan terhadap keadilan, aksi kolektif, dan transparansi proses negosiasi. menggambarkan langkah-langkah pra-negosiasi sebagai berikut: Para petani datang ke kantor bantuan hukum sebagai klien dalam sengketa tanah, dan pengacara bantuan hukum memfasilitasi penguatan organisasi atau kelompok petani. Stafnya kemudian melibatkan petani dalam dialog partisipatif untuk mempelajari sejarah lahan yang disengketakan dan situasi petani saat ini. Langkah ini juga mencakup pengumpulan dokumen atau bukti kepemilikan dan pencatatan sejarah lisan daerah tersebut. Nilai-nilai dan tradisi lokal yang membantu mendukung klaim petani ditinjau. Nilai-nilai dan tradisi ini dapat mencakup ritual yang melibatkan tanah, bahkan lagu dan cerita rakyat yang mendukung hubungan petani dengan daerah tersebut. Pemetaan partisipatif fisik dan sosial kemudian dilakukan agar masyarakat jelas tentang batas-batas wilayah yang mereka klaim. Kemudian, analisis risiko yang terlibat dan identifikasi sekutu dan musuh potensial dirinci. Setelah konsolidasi kelompok atau organisasi lebih lanjut, mereka mengembangkan jaringan dengan kelompok lain yang terlibat dalam proses serupa. Prospektus hukum diuraikan, dan tim negosiasi dibentuk. Terakhir, para petani dibantu dalam menyiapkan bentuk media yang akan digunakan selama proses reklamasi. Negosiasi reklamasi yang sebenarnya dilakukan ketika petani merasa sudah siap. Negosiasi dilakukan dengan pemilik perkebunan, pemerintah daerah, dan dinas agraria daerah. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pengakuan atas kepemilikan komunitas. Pada saat itu, tanah tersebut ditempati atau ditanami tanaman pangan. Rambu-rambu proklamasi tanah milik masyarakat dipasang dan diberi tanda batas. Pengambilan kembali yang difasilitasi oleh Herlambang berhasil dilakukan di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Herlambang juga diminta memfasilitasi kasus-kasus di daerah lain di Indonesia. Gerakan reklamasi ini mendapat liputan luas di media massa, dan bersama dengan organisasi petani yang dia dukung, Herlambang menghadapi tantangan untuk membuat liputan media lebih bersimpati terhadap gerakan tersebut. Herlambang juga prihatin dengan masalah pasca reklamasi. Dia tahu prosesnya tidak berakhir dengan pemulihan lahan yang berhasil; itu juga harus menangani kontrol atas kawasan reklamasi (seperti sistem hak tanam), pengembangan sistem produksi, dan akses ke pasar dan jaringan distribusi. Sebagai kesimpulan dari satu kasus yang berhasil, kantor petani diubah menjadi pusat informasi dan pelatihan yang berfokus pada masalah pra dan pasca reklamasi. Perwakilan dari masyarakat pedesaan lain yang menghadapi sengketa tanah, beberapa di antaranya dari luar negeri, datang ke pusat untuk mempelajari pelajaran berharga dalam mempersiapkan merebut kembali tanah yang diperebutkan. Pada Februari 2001, Herlambang membantu memfasilitasi Kongres Tani Jawa Timur, sebuah acara yang dihadiri banyak orang yang berfokus pada pendekatannya terhadap reklamasi lahan. Ia juga menggunakan jaringan bantuan hukum Indonesia sebagai sarana untuk menyebarkan gagasannya lebih jauh. Selain itu, ia dan jajarannya kerap menjadi pembicara di forum nasional atau konsultan di daerah lain. Berbagai artikel telah ditulis tentang karya Herlambang, dan bersama Boedhi Wijardjo, ia telah menulis buku berjudul Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat. Herlambang berencana untuk terus menangani masalah ini dengan masyarakat pedesaan di Indonesia, dan memperkirakan penerapan metodologinya di bidang lain seperti sengketa pertambangan, perikanan, dan kehutanan. Meski jaringan bantuan hukum saat ini efektif untuk menyebarkan idenya, Herlambang berencana ke depan mendirikan organisasinya sendiri.