Your Privacy

Changemaker Library uses cookies to provide enhanced features, and analyze performance. By clicking "Accept", you agree to setting these cookies as outlined in the Cookie Policy. Clicking "Decline" may cause parts of this site to not function as expected.

Deradjat Ginandjar Koesmayadi
IndonesiaAshoka Fellow sejak 2011

Derajat Ginandjar “Ginan” Koesmayadi sedang mengubah pendidikan publik, khususnya pengobatan dan sikap terhadap orang dengan HIV dan kecanduan narkoba dengan cara yang bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat. Ginan mengkomunikasikan pendidikan kesehatan kepada kaum muda dengan cara yang dapat dimengerti dan dipercaya, sambil juga memberikan perawatan komprehensif di lingkungan yang aman bagi mereka yang terkena dampak. Dia juga menganjurkan kebijakan baru melawan kriminalisasi pengguna narkoba dan menuntut perawatan dari fasilitas kesehatan pemerintah. Ginan mencontohkan peran positif yang dapat dimainkan oleh Warganegara HIV-positif di masa depan Indonesia.

#AIDS#Morfin#Obat#Injeksi obat#Heroin#Kecanduan narkoba#HIV#Kecanduan

Orang

Ginan berasal dari keluarga kelas menengah. Orangtuanya bercerai ketika dia berusia sekitar dua tahun, jadi dia tinggal bersama ayah, ibu tiri, dan tiga adiknya. Dia menggambarkan keluarganya tidak berfungsi, karena dia merasa orang tuanya tidak memainkan peran mereka. Dalam upaya untuk mendapatkan kepercayaan diri meskipun menjadi yang terkecil di kelasnya, ia mulai bereksperimen dengan narkoba di SMP, pertama dengan obat antidepresan, kemudian mencoba alkohol, dan akhirnya heroin. Kecanduan Ginan menjadi serius selama sekolah menengah dan masa kuliahnya, dan dia mulai mencuri untuk mendapatkan obat-obatannya. Dia dikirim ke pesantren dua kali, di mana dia dipukuli sebagai bagian dari perawatan. Ginan juga dipenjara tiga kali, dan diusir dari rumahnya pada tahun 1999. Baru tiga tahun kemudian dia mencari drop-in center di pusat rehabilitasi yang berbasis di Malaysia. Ginan dikirim ke Kuala Lumpur, dan mengetahui setelah skrining bahwa dia HIV positif. Pernah berpikir bahwa hanya orang gay yang bisa tertular HIV, dia menyangkal pada awalnya. Namun, dengan dukungan konselor Penasun HIV positif di komunitas terapeutik, Ginan mengatasi situasi dan kecanduan tersebut. Merasa kesepian, pada tahun 2002 Ginan adalah salah satu orang Indonesia pertama yang “memecah kesunyian” dan mengumumkan infeksi HIVnya ke publik. Pada saat itulah dia berkenalan dengan Spiritia dan merasa cocok secara emosional. Setelah bekerja di pusat rehabilitasi berbasis di Bandung yang melayani kaum muda berpenghasilan tinggi, dia berpikir untuk memperluas akses untuk melayani semua orang yang membutuhkan. Ginan memulai Rumah Cemara sebagai pusat rehabilitasi swadaya pada tahun 2003 dengan empat rekan kerja, dan Bandung Plus Support sebagai program dukungan sebaya.

Ide Baru

Ginan memposisikan para pecandu yang sedang pulih dan mereka yang didiagnosis HIV positif sebagai pemimpin pencegahan, perawatan, dan integrasi sosial yang efektif. Ia menyadari melalui pengalaman pribadinya sebagai pasien HIV positif, bahwa cara terbaik untuk mendekati stigma sosial seputar HIV / AIDS dan memulihkan pecandu narkoba adalah melalui sudut pandang holistik. Oleh karena itu, Ginan membahas komponen sosial serta komponen perawatan dari masalah ini. Untuk lebih mengintegrasikan HIV / AIDS dan memulihkan pecandu narkoba ke dalam masyarakat, ia menggunakan olahraga dan musik untuk memerangi kesalahpahaman masyarakat tentang HIV / AIDS. Untuk membantu merawat dan memberdayakan individu yang terkena dampak, Ginan telah mengembangkan program pengobatan peer-to-peer dan pelatihan pengembangan ekonomi sebagai kesempatan bagi mereka untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan aktif. Mengatasi semua sudut ini, program Ginan tidak tertandingi dalam pendekatannya. Dengan berani, Ginan mendirikan Rumah Cemara, sebuah pusat program dan pengobatan yang meniru pengalamannya sendiri sebagai seorang penderita HIV positif. Dengan programnya, peserta membuktikan bahwa mantan pecandu dan ODHA dapat menjadi pekerja yang sehat, produktif dan anggota masyarakat. Alih-alih tetap menjadi korban anonim, melalui program ini, pasien HIV keluar dari bayang-bayang dan berhasil berintegrasi ke dalam masyarakat. Melalui program outreach Rumah Cemara, mereka menjadi konselor di rumah sakit dan di antara kelompok berisiko tinggi. Program pengembangan komunitas Ginan juga menciptakan peluang untuk menjadi sukarelawan di klinik kesehatan keliling, yang menyediakan perawatan kesehatan dasar untuk komunitas pinggiran kota. Ginan juga menemukan bahwa media interaktif universal seperti sepak bola dan musik memfasilitasi interaksi orang ke orang, dan merupakan sarana yang ampuh untuk menghilangkan mitos tentang narkoba dan HIV. Mengintegrasikan kegiatan ini ke dalam programnya, Ginan mempengaruhi kesan sosial. Programnya telah memelopori hubungan yang kuat dengan mitra seperti USAID dan Football for Life, dan dia akan menggunakan jaringan ini untuk meningkatkan dan mewaralabakan karyanya di seluruh wilayah.

Masalah

Jumlah kasus HIV yang dilaporkan di Indonesia tergolong rendah, tetapi banyak lembaga kesehatan nasional dan internasional yang menunjukkan bahwa prevalensi di Indonesia sebenarnya jauh lebih tinggi. Dari 24.131 kasus HIV / AIDS yang dilaporkan (2010, Direktorat Jenderal CDC & amp; EH, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia), 9.242 tercatat terinfeksi dari penggunaan obat intravena (Penasun), peringkat kedua setelah penularan heteroseksual. Dewasa muda (usia 20 hingga 29 tahun) paling banyak terkena dengan 11.438 kasus HIV / AIDS dan 5.438 kasus HIV dari Penasun. Kasus HIV / AIDS pertama di Indonesia didokumentasikan pada tahun 1987: Diduga seorang turis Belanda homoseksual, yang meninggal di Rumah Sakit Umum Sanglah di Bali. Pendekatan generasi pertama untuk menangani AIDS difokuskan pada individu dan menekankan akses informasi dan pengobatan bagi mereka yang HIV positif, serta fokus pada kesadaran publik. Yayasan Pelita Ilmu dan kemudian organisasi Spiritia (didirikan oleh almarhum Ashoka Fellow Suzana Murni) adalah pelopor generasi ini untuk menghentikan epidemi. Solusi generasi kedua berfokus pada pemberdayaan komunitas HIV positif, yang mencakup mereka yang terkena dampak dan terinfeksi HIV. Sebagian besar penekanan saat ini adalah pada dukungan kelompok sebaya, yang dipimpin oleh Ashoka Fellow Daniel Marguari. Akibat penyebaran penyakit, munculnya terapi ARV, dan peningkatan penggunaan narkoba suntikan, terutama di kalangan anak muda Indonesia, pengendalian epidemi ini membutuhkan inovasi generasi ketiga. Fase inovasi selanjutnya ini harus mempertimbangkan realitas HIV / AIDS di Indonesia saat ini, yang memerlukan perhatian pada konsepsi budaya tentang penyakit dan stigma serta prevalensi Penasun. AIDS sekarang sering diperlakukan seperti penyakit kronis — menyiratkan bahwa orang bisa dalam keadaan sehat, namun masih mengalami gejala penyakit (seperti diabetes atau asma). Namun, stigma tetap bagi mereka yang HIV-positif. Orang-orang ini menghadapi diskriminasi dalam perawatan kesehatan dan pekerjaan. Rumah sakit dan klinik sering menolak atau membebankan biaya tambahan untuk layanan. Skrining HIV tidak bersifat rahasia dan dengan demikian menghalangi kesempatan kerja bagi orang HIV positif. Mereka yang hidup dengan HIV sering kali ditolak di rumah, dan dianggap sebagai "aib bagi lingkungan sekitar". Prevalensi penggunaan narkoba suntikan, yang terkait erat dengan HIV, meledak di Indonesia pada akhir 1990-an. Pada awalnya, heroin paling umum terjadi di antara remaja putra kelas menengah dan atas yang menyuntikkan heroin, yang menyebarkan HIV dengan cepat melalui jarum suntik bersama. Survei pada awal 2000-an menemukan tingkat prevalensi HIV di antara pengguna narkoba sekitar 80 persen. Saat ini Penasun Indonesia diperkirakan mencapai 1,9 persen dari total penduduk, yang artinya sekitar 4,75 juta jiwa (Badan Narkotika Nasional, 2009). Secara geografis, Jakarta dan Jawa Barat dilaporkan sebagai prevalensi tertinggi ke-1 dan ke-2 secara nasional untuk kasus Penasun HIV positif. Kurangnya informasi yang akurat ditambah dengan stigma yang berkembang tentang HIV telah berkontribusi pada penyebaran penyakit. Baik pemerintah maupun masyarakat umum menganggap HIV sebagai "masalah orang lain" —mengacu pada homoseksual, pekerja seks, budaya Barat, amoralitas, dan hukuman Tuhan. Orang HIV positif dianggap sebagai objek belas kasihan atau tuduhan. Seminar dan kampanye tentang HIV / AIDS ditargetkan untuk para profesional kesehatan dan kelompok berisiko tinggi saja, tetapi tidak untuk “rata-rata” orang Indonesia yang HIV-positif. Kampanye melawan penggunaan narkoba menggunakan taktik menakut-nakuti, mengancam IDU dengan AIDS dan kematian. Ini adalah disinsentif bagi orang HIV positif dan penasun untuk mencari bantuan. Selain itu, anak muda cenderung merasa tak terkalahkan dan ingin tahu, dan mengabaikan peringatan tersebut. Ketakutan akan stigma, daripada infeksi itu sendiri, membuat pecandu enggan menjalani tes sukarela, yang mengakibatkan infeksi yang lebih tinggi di kalangan remaja, pasangan / pasangan seksual, dan bayi. Sering dianggap sebagai masalah amoralitas, kecanduan narkoba di kalangan remaja diperlakukan dengan dua cara: Para pecandu dikirim ke penjara atau sekolah asrama. UU no. 35/2009 menyatakan pecandu sebagai penjahat, yang sangat kontras dengan definisi kecanduan Organisasi Kesehatan Dunia sebagai "penyakit kambuh kronis." Antara 1997 dan 2008, jumlah pecandu yang ditahan meningkat 56,8 persen. Alih-alih berfokus pada pengedar narkoba dan sindikatnya, polisi mengejar dan memenjarakan pecandu, menyangkal hak mereka atas perawatan kesehatan dan rehabilitasi yang memadai. Oleh karena itu, mereka terus menularkan hepatitis C dan infeksi HIV.

Strateginya

Ginan adalah direktur pendiri Rumah Cemara, salah satu program rehabilitasi narkoba nirlaba yang paling efektif dan dihormati di Indonesia. Berkaca dari pengalamannya sebagai mantan Penasun yang mengidap HIV positif, Rumah Cemara didirikan sebagai tempat untuk merasa diterima, mendapatkan informasi yang memadai dan akurat, serta untuk mengakses perawatan. Untuk melayani para pecandu, Rumah Cemara menyediakan pusat perawatan yang menggunakan model komunitas 12 langkah dan terapeutik. Untuk Penasun dan orang HIV positif, kelompok dukungan sebaya dibentuk, yang mencakup mereka yang terkena dampak seperti keluarga, pasangan, dan teman. Untuk menjangkau lebih banyak IDU dan WNI HIV positif, Rumah Cemara membentuk Bandung Plus Support, sebuah jaringan lebih dari enam puluh KDS yang melayani lebih dari 5.000 Odha di Jawa Barat. Ginan juga aktif dalam program pengurangan dampak buruk di kalangan narapidana, pekerja seks, dan pria berisiko tinggi. Namun, Ginan menyadari bahwa strategi inti untuk menangani Penasun dan HIV harus membuat seluruh masyarakat menyadari bahwa ini adalah masalah dan tantangan Indonesia. Tidak seperti generasi sebelumnya, orang HIV positif saat ini dapat menjadi anggota aktif komunitas: Mereka dapat bekerja, bersosialisasi, bermain sepak bola, dan bersenang-senang. Sudah waktunya bagi kelompok dukungan sebaya untuk keluar dari isolasi mereka, keluar dari lingkaran pribadi orang HIV-positif atau mantan pecandu dan ke ranah publik. Dimulai dengan acara olahraga dan musik, Ginan melibatkan publik dan memfokuskan pendekatannya pada integrasi. Di tim sepak bola Ginan, Interminal (sebelas dari tiga belas pemain hidup dengan HIV), dia telah memprogram latihan reguler dengan pemain sepak bola amatir dan profesional. Setelah 90 menit bermain, ia melibatkan para pemain, baik Penasun / HIV positif dan tim reguler dalam film pasca-pertandingan dan diskusi tentang HIV / AIDS. Sebagian besar anggota tim non-HIV positif awalnya terkejut bahwa orang dengan HIV benar-benar bisa bermain sepak bola dan bahkan menang. Sejak 2009, program Ginan telah menjangkau lebih dari 1.000 orang melalui sepak bola, dengan beberapa dari mereka bahkan meminta pertandingan ulang. Sebagai hasil dari strategi lintas sektor ini, stigma terhadap orang HIV positif perlahan-lahan berkurang. Rumah Cemara juga berhasil melibatkan pemain skuad kota profesional sebagai relawan-juru kampanye-pemain. Ginan menjadi penyelenggara tim nasional Indonesia, menghadiri Piala Dunia Homeless Street Soccer global. Dengan band punk rocknya, Mood Altering, Ginan juga aktif berpartisipasi dalam festival dan pertunjukan musik indie. Selama acara remaja populer ini, dia memobilisasi semua band yang tampil untuk berbicara tentang pencegahan narkoba, untuk memahami dan menerima orang HIV positif, dan untuk membahas masalah sosial lainnya. Ginan pernah tampil di penjara, berkampanye tentang HIV / AIDS, dan mendapat liputan dari MTV. Rumah Cemara juga menggunakan inisiatif pengembangan masyarakat untuk mencapai tujuannya mendobrak batasan antara kelompok yang terdiskriminasi dan masyarakat umum. Misalnya, Ginan menyelenggarakan klinik keliling untuk komunitas pinggiran kota yang kurang terlayani, di mana anggota HIV-positif dan mantan Penasun bertindak sebagai sukarelawan. Dalam hal pencegahan, Rumah Cemara telah melatih staf dan anggotanya untuk terlibat dalam program pengurangan dampak buruk di Lapas. Untuk menjangkau populasi HIV positif, Rumah Cemara memiliki kantor di tiga lokasi (Bandung, Sukabumi, dan Cianjur), yang menghasilkan hubungan yang kuat dengan rumah sakit, mendorong anggotanya untuk mencari layanan kesehatan dan pengobatan antiretroviral. Staf Rumah Cemara pergi ke klinik dan bertanya kepada orang-orang dukungan apa yang mereka butuhkan, memberi tahu mereka tentang program Rumah Cemara dan bagaimana cara bergabung. Mereka juga mendorong para dokter untuk mempromosikan program olahraganya. Untuk menopang dirinya sendiri, Rumah Cemara memfasilitasi pemulihan pecandu dan orang HIV positif untuk mendapatkan pengembangan ekonomi dan keterampilan mobilisasi sumber daya. Dalam kampanye "For Life", Rumah Cemara bekerja sama dengan universitas terkemuka untuk mengintegrasikan kampanye penjangkauan dan penggalangan dana di acara-acara mahasiswa. Pelatihan pengembangan usaha kecil juga diadakan untuk memberikan peluang peningkatan pendapatan seperti warung internet dan layanan cuci sepeda motor. Rumah Cemara juga menjalin kemitraan dengan lembaga donor, seperti USAID, Nike-Ashoka Changmakers, dan Football for Life. Ini akan memungkinkan lebih banyak pemain untuk mengikuti program sepak bola mereka, dan memperluas tiga tim sepak bola yang berafiliasi dengan Rumah Cemara di penjara Bandung. Ginan membayangkan dunia di mana semua orang HIV-positif dan mantan pecandu dapat menjadi pembuat perubahan dengan membawa perubahan terlebih dahulu pada diri mereka sendiri. Dengan demikian, dia menciptakan massa kritis contoh hidup untuk mencontohkan makna sebenarnya dari kehidupan positif. Proses ini memungkinkan dia untuk fokus pada perubahan kebijakan dan hukum. Keyakinan dan jaringan tumbuh dengan perhatian media. Misalnya, salah satu kelompok sebaya di Sukabumi berhasil mengubah putusan pengadilan daerah terhadap pengguna narkoba dari hukuman penjara menjadi wajib rehabilitasi. Ginan aktif berpartisipasi dalam jaringan global, di antaranya Aliansi HIV-AIDS Internasional di mana Rumah Cemara merupakan organisasi penghubung resmi untuk Indonesia. Di tingkat nasional, Rumah Cemara membangun kemitraan strategis dengan Komisi Nasional AIDS dari pemerintah dan Badan Penyalahgunaan Narkoba, serta organisasi warga seperti Spiritia. Melalui jaringan ini Ginan mengundang dan memfasilitasi orang lain untuk meniru modelnya saat dia bekerja untuk memperbaiki kebijakan dan hukum.

Deradjat Ginandjar Koesmayadi Deradjat Ginandjar Koesmayadi