Changemaker Library uses cookies to provide enhanced features, and analyze performance. By clicking "Accept", you agree to setting these cookies as outlined in the Cookie Policy. Clicking "Decline" may cause parts of this site to not function as expected.
Meskipun jumlah disabilitas di Indonesia meningkat, tindakan pencegahan belum dipertimbangkan. Purnawan Budisetia berupaya mencegah kecacatan yang disebabkan oleh cacat lahir bawaan tertentu akibat perkawinan silang. Ia melakukan ini dengan bekerja dalam budaya tradisional agama Bali.
Purnawan, anak bungsu dari 5 bersaudara, lahir di Jakarta namun dibesarkan di Semarang, dibesarkan oleh keluarga yang tergolong miskin. Ayahnya menerima bayaran kecil untuk bekerja di penggilingan padi sebagai montir. Ibunya menjalankan bisnis kecil di mana dia kemudian bisa mencari nafkah untuk seluruh keluarga. Meski miskin, orang tuanya sering membantu orang lain. Sejak kecil Purnawan gemar membantu orang lain, yang ia pelajari dari orang tuanya. Saat berusia sepuluh tahun, Purnawan ditabrak sepeda motor saat mengendarai sepeda. Kecelakaan itu membuat mata kirinya buta. Dia mengalami masa-masa sulit karena tidak memiliki kepercayaan diri dan karena itu lebih suka sendirian. Namun, dia berhasil dan kemudian aktif di perkumpulan siswa di sekolah menengahnya, memimpin kegiatan majalah dewan siswa. Setelah lulus dari sekolah menengah, dia beruntung bertemu seseorang yang memintanya untuk merawat ibunya, dan yang membantu mendanai studi lanjutannya di bidang pertanian. Ia kemudian aktif di Karya Sosial Komunitas Kampus. Ia pergi ke desa-desa membantu masyarakat meningkatkan kesehatan, gizi keluarga dan agribisnis mereka pada saat yang bersamaan. Setelah lulus pada tahun 1987, Purnawan bekerja sebagai guru di Sekolah Menengah Pertanian di Bandungan, Ambawara. Saat mengajar, ia terlibat dalam kegiatan dusunnya dan diangkat sebagai sekretaris. Dia juga aktif di komunitas Gereja Katoliknya membantu petani di lingkungan sekitar dengan pertanian mereka. Namun, dia memutuskan untuk pindah ke Bali dengan pekerjaan baru dan dianggap sebagai ancaman karir oleh kepala sekolah, karena dia adalah satu-satunya lulusan universitas di sekolah tersebut. Purnawan belajar bahwa orang membantu tanpa memandang status, latar belakang ekonomi atau agama. Pada tahun 1990, ia bergabung dengan Yayasan Duta Bina Bhuana di Bali sebagai direktur program, sebuah organisasi penelitian pertanian dan pengembangan usaha mikro. Selama bertahun-tahun melayani masyarakat miskin di berbagai desa, Purnawan mengetahui bahwa banyak anak-anak cacat yang disekap di rumah. Ketika ditanya di mana lagi di desa mereka menemukan anak-anak cacat, tidak ada penduduk desa yang akan mengakui bahwa ada anak-anak cacat. Belakangan Purnawan mengetahui bahwa mereka disimpan dengan baik di dalam rumah karena salah tafsir keyakinan agama bahwa keluarga itu dikutuk. Prihatin dengan ketidakadilan dan tergerak oleh empati, ia mendirikan Yayasan Peduli Kemanusiaan Bali (YPK Bali) pada tahun 2001 bersama mendiang rekannya dr. Jonathan. Mereka membagi peran dimana dr. Jonathan memimpin organisasi dan Purnawan melakukan penggalangan dana. Purnawan mengambil alih kepemimpinan pada tahun 2007 ketika dr. Jonathan meninggal. Pekerjaannya yang ekstensif dengan anak-anak cacat dan keluarganya di Bali memberinya latar belakang untuk memahami penyebab kecacatan dan sifat cacat lahir bawaan.
Purnawan berupaya mengubah sistem nilai budaya sebagai bagian dari tindakan pencegahan terhadap disabilitas. Karena sulitnya mendobrak sistem budaya cor khususnya untuk mendapatkan dukungan dari pendeta kasta tertinggi Brahmana, Purnawan berhasil melibatkan para pemuka agama (Pandita) dari pendeta cor yang paling rendah untuk mewujudkan gagasan tersebut. Bersama orang tua dari anak-anak penyandang disabilitas, Pandita mendidik masyarakat tentang tingginya risiko perkawinan silang dan disabilitas. Saat berdakwah, mereka mengingatkan masyarakat untuk menghentikan dan menghindari perkawinan terlarang, termasuk kawin silang seperti yang tertulis dalam adat istiadat Hindu Bali. Purnawan juga bekerja sama dengan komunitas agama untuk mematahkan stigma terhadap disabilitas yang dianggap sebagai hukuman atas perbuatan salah di masa lalu sehingga tidak diperbolehkan pergi ke pura untuk beribadah. Sekarang para penyandang cacat bisa menjalankan agama mereka dan berdoa di kuil. Purnawan juga bekerja dengan sekolah dan dewan remaja tentang perkawinan silang sebagai bagian dari pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Purnawan mengintegrasikan rehabilitasi dan pendidikan bagi penyandang disabilitas untuk meningkatkan taraf hidupnya sebagai warga negara yang setara. Membalikkan kepercayaan tradisional tentang disabilitas sebagai aib keluarga, Purnawan mampu meyakinkan orang tua tidak hanya untuk membiarkan anaknya keluar, mengakses terapi rehabilitasi dan mendapatkan pendidikan, tetapi juga untuk mengikuti terapi rehabilitasi di rumah. Ia telah mengaitkan program ini dengan Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten dan Provinsi melalui Satuan Keliling Dinas Sosial. Dalam waktu dekat ia berencana untuk menyebarkan program-program tersebut ke daerah lain di Bali dan sekitarnya, dengan memanfaatkan jaringan nasional organisasi Sosial Mitra Nasional dan Komunitas Anak Cerebral Palsy.
Sebuah laporan baru-baru ini memperkirakan bahwa secara global delapan juta anak setiap tahun dilahirkan dengan kelainan serius yang setidaknya sebagian disebabkan oleh gen mereka. Itu berarti sekitar enam persen dari semua kelahiran di seluruh dunia. Studi tersebut mengaitkan tingginya angka cacat lahir di negara berkembang dengan perawatan kesehatan dan gizi yang buruk. Para peneliti juga mencatat tingkat pernikahan yang lebih tinggi dari rata-rata di antara saudara sedarah. Banyak penyandang disabilitas terhalang oleh norma sosial dan budaya yang mengakar. Di beberapa komunitas tradisional, perkawinan kawin, yang mungkin dapat mengakibatkan keturunan yang cacat karena kelainan genetik, tetap dalam praktiknya. Di Bali misalnya, meski dilarang dalam agama Bali modern, perkawinan antara saudara atau sepupu tetap diinginkan untuk menjaga harta benda dan harta benda dalam keluarga. Dengan praktik saat ini, pengujian DNA untuk mencegah cacat lahir sayangnya tidak populer. Meskipun populasi penyandang disabilitas meningkat, budaya dan tradisi lokal telah meminggirkan penyandang disabilitas. Misalnya, dari generasi ke generasi, masyarakat Bali memandang penyandang disabilitas fisik sebagai dikutuk. Oleh karena itu, para penyandang disabilitas tidak diizinkan untuk berdoa di kuil dan melakukan praktik keagamaan. Dianggap sebagai aib keluarga, orang tua terkadang mengucilkan anak-anak mereka yang cacat, membuat mereka terisolasi di rumah dan tidak diperlakukan sama seperti anak-anak lainnya. Hampir separuh dari anak penyandang disabilitas miskin tidak pernah bersekolah karena dipermalukan oleh keluarga mereka, serta ditolak oleh sekolah umum. Demikian pula, banyak lansia cacat yang dirawat di dalam rumah. Kebanyakan orang cacat kemudian pasrah pada nasib mereka sebagai orang yang tidak terlihat dan tidak diinginkan.
Purnawan menerapkan strategi untuk bekerja dengan para pendeta Bali yang lebih mudah didekati dan pemimpin adat tradisional untuk menguak isu-isu disabilitas, sehingga menghentikan perkawinan kawin, menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap disabilitas. Melalui seminar publik dan dakwah, para pemuka agama tersebut mempertegas adat istiadat Hindu Bali tentang kawin terlarang termasuk kawin silang. Mereka juga meluruskan salah tafsir beberapa ajaran agama yang berakibat pada diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Mereka mengklarifikasi bahwa kecacatan fisik bukanlah kutukan dan oleh karena itu mereka diizinkan untuk berdoa di kuil dan tempat keramat. Keberhasilan kampanye tersebut ditunjukkan dengan adanya permintaan dari kelompok masyarakat yang meminta kepada pemuka agama dan tokoh adatnya untuk merehabilitasi pura mereka agar ramah penyandang disabilitas. Ada enam belas perkawinan terlarang dalam tradisi Hindu Bali yang telah disalahpahami oleh masyarakat, dimana dua belas di antaranya terkait dengan kemungkinan masalah genetik karena perkawinan silang. Agar masyarakat terlibat tetapi tidak merasa terancam, Purnawan memilih bekerja dengan Ide Pandita, Pendeta dari kasta terendah, bukan Ide Pedande, Pendeta dari kasta tertinggi dan menengah, karena mereka lebih terbuka terhadap perubahan. Tidak ada yang berani mengangkat masalah perkawinan sedarah karena hal itu berkaitan dengan budaya Bali. Ide Pandita bekerja dengan para pemimpin adat tradisional desa dalam kaitannya dengan Asosiasi Hindu. Para pemimpin agama dan adat ini akan berbagi informasi tentang perkawinan silang dan disabilitas sebagai karma dengan orang-orang di akar rumput. Pendekatan kedua Purnawan adalah bekerja sama dengan sekolah dan universitas untuk meningkatkan kesadaran kepada kaum muda. Melalui lokakarya sekolah, dia melibatkan siswa, orang tua, dan keluarga mereka. Para pemimpin agama berbagi sistem kepercayaan Hindu seputar pernikahan terlarang di mana inses, atau pernikahan antara saudara kandung atau antara anak dan orang tua, sangat dilarang. Sebagai tindak lanjut dari workshop tersebut, Purnawan mengadakan Youth Camps untuk membantu para siswa memikirkan tentang pernikahan mereka di masa depan terkait dengan kesehatan reproduksi mereka. Siswa mempertimbangkan semua konsekuensi dari perilaku seksual yang tidak sehat dan berisiko tinggi. Ia juga bermitra dengan Puskesmas untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin guna mendeteksi gejala awal kecacatan pada tumbuh kembang anak, stroke untuk orang dewasa, dan gangguan pendengaran. Selain pendekatan preventif, Purnawan juga menjalankan pendekatan pendidikan, rehabilitasi dan kemandirian secara terintegrasi. Ia memungkinkan penyandang disabilitas menikmati hidup sebagai warga negara yang setara, dengan memberikan terapi fisik dan terapi okupasi kepada klien dari segala usia yang memiliki berbagai kondisi termasuk cerebral palsy, multiple sclerosis, distrofi otot, atau pernah mengalami stroke yang menyebabkan kelumpuhan atau imobilitas. YPK, organisasi yang dia dirikan, telah bekerja dengan lebih dari 1000 klien dan menawarkan terapi fisik dan okupasi di Denpasar, Bali Selatan. Untuk menjangkau masyarakat di desa-desa yang tidak bisa mendapatkan akses rehabilitasi, mereka mengembangkan klinik terapi keliling, yang membawa para terapis ke desa-desa. Inisiatif tersebut kini telah melayani desa-desa di 5 kabupaten di Provinsi Bali. Untuk memastikan keberlanjutannya, mereka melatih anggota keluarga untuk melakukan terapi di rumah. Program ini didukung oleh relawan Terapis Okupasi YPK. Purnawan juga bermitra dengan berbagai institusi pendidikan termasuk fakultas kedokteran, keperawatan dan terapeutik di mana mahasiswa melakukan praktik lapangan sambil melakukan kerja sukarela. Dia juga menghubungkan layanan ini dengan unit layanan sosial keliling pemerintah yang ada. Layanan terapi terpadu telah dikembangkan termasuk terapi fisik dan okupasi, berbagai pelatihan kecakapan hidup, dan program olahraga. Melalui tamasya kelompok rutin dan kegiatan rekreasi di luar pusat, Purnawan memungkinkan penyandang cacat untuk melakukan interaksi sosial. Dengan mengunjungi pantai misalnya, anak dapat merasakan hal-hal baru, belajar menghadapi tantangan, berinteraksi sosial, bersantai dengan keluarga, dan berinteraksi dengan alam. Bekerja sama dengan Bali Sport Foundation, anak-anak difabel belajar berenang, sekaligus belajar tentang keamanan bawah air dan mendapatkan terapi air. Purnawan berencana untuk menyebarkan pusat dan membuka cabang di Bali Timur dan Barat. Dia juga bekerja untuk meniru di luar Bali. Untuk itu, Purnawan berjejaring dengan berbagai organisasi di tingkat daerah dan nasional, termasuk dengan Organisasi Sosial Mitra Nasional dan Komunitas Anak Cerebral Palsy. Mereka bisa datang dan belajar dari pusatnya; sebagai alternatif, dia mengirim stafnya ke situs baru. Masyarakat dapat meniru prinsip, teknik dan inovasi dasar tetapi masyarakat masih perlu menyesuaikan diri dengan tantangan lokal dalam mewujudkan peningkatan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas. Ia juga berencana mendaftarkan secara resmi pusat tersebut sebagai sekolah formal untuk anak-anak berkebutuhan khusus agar bisa mendapatkan ijazah formal. Dalam waktu dekat, ia juga sedang mengembangkan panti jompo untuk lansia cacat, yang saat ini belum ada. Semua upayanya dijalankan secara sukarela dan menerapkan mekanisme subsidi silang di mana mereka yang mampu akan berdonasi lebih banyak untuk mensubsidi masyarakat miskin, dan memobilisasi donasi. Purnawan saat ini sedang merancang strategi keberlanjutan keuangan organisasi. Untuk mendiversifikasi sumber pendanaan dan mempertahankan usahanya, dia berencana untuk mendirikan unit bisnis Fisioterapi dan Perawatan Rumah.