Your Privacy

Changemaker Library uses cookies to provide enhanced features, and analyze performance. By clicking "Accept", you agree to setting these cookies as outlined in the Cookie Policy. Clicking "Decline" may cause parts of this site to not function as expected.

Zaini Alif
IndonesiaAshoka Fellow sejak 2014

Karena popularitas permainan digital meningkat dengan anak-anak dan program pendidikan tidak memperhitungkan permainan, anak-anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial yang penting. Zaini Alif mengidentifikasi dan memperkenalkan kembali mainan dan permainan tradisional sebagai cara untuk memastikan bahwa generasi berikutnya membangun keterampilan ini.

#Permainan#Masyarakat#Belajar#Bermain#Sekolah dasar#Sekolah#Desa#SMA

Orang

Zaini lahir dan besar di desa pedesaan. Anak ketiga dari lima bersaudara ini sangat bersyukur atas cara orangtuanya, yang sama-sama guru, membesarkan dirinya dan saudara perempuannya. Dia belajar banyak tentang nilai-nilai kehidupan dan empati dari orang tuanya. Dia sangat menikmati masa kecilnya karena dia menghabiskan sebagian besar waktunya bermain dengan teman-temannya di sepanjang jalan, sambil berjalan kaki setiap hari enam kilometer untuk pergi ke sekolah. Meskipun sering bermain, Zaini berprestasi di sekolah dan selalu dibebaskan dari biaya sekolah. Pada tahun 1990, dia pindah ke kota Bandung dimana dia mendapat beasiswa lagi untuk melanjutkan ke sekolah menengah umum yang terkenal. Namun, ia sangat kecewa saat mengetahui bahwa teman-temannya tidak tertarik untuk bermain game. Dia juga memperhatikan bahwa di lingkungannya, kebanyakan anak menonton TV di rumah atau bermain game Nintendo sendirian. Prihatin dengan hal tersebut, Zaini memutuskan untuk mengambil jurusan desain seni di universitas tersebut untuk belajar bagaimana membuat mainan dimana anak-anak dapat bermain dan belajar pada waktu yang bersamaan. Pilihannya mengejutkan keluarganya, karena saat itu menjadi artis tidak populer. Kebanyakan orang tua mengira itu adalah profesi tanpa masa depan finansial. Namun Zaini akhirnya mendapat dukungan penuh dari ayahnya. Selama di universitas, dia menghabiskan sebagian besar waktunya di taman kanak-kanak tetangga. Di sana ia belajar tentang psikologi anak dan menemukan bagaimana bermain permainan tradisional dapat meningkatkan keterampilan motorik dan menstimulasi kreativitas. Ia juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Dia pernah memimpin sebuah inisiatif siswa untuk mengubah kamar di bawah beberapa anak tangga menjadi mushola. Karena keterbatasan dana, ia mengambil berbagai pekerjaan selama kuliah, seperti menjual jasa desain seni, stiker, sandal, kaos, dll. Ayahnya tahu bahwa waktunya di kota tidak mudah dan melalui surat, ia mendukungnya. untuk bertahan dengan hidup. Setelah lulus pada tahun 1998, Zaini bekerja di sebuah perusahaan mainan industri tempat ia mendesain mainan Zolo yang populer. Namun, dia belajar bahwa bekerja di perusahaan industri besar akan membawanya ke pola pikir produsen mesin mainan. Meski ditawari posisi sebagai manajer desain, ia memutuskan untuk berhenti dan mendirikan perusahaan sendiri di Bandung, tetap dengan semangat mengembangkan mainan tradisional untuk anak-anak. Perusahaannya sukses bahkan merambah ke cabang di Bali untuk memudahkan ekspor. Saat menjalankan perusahaannya, ia meraih gelar Master di Institut Teknologi Bandung untuk mengidentifikasi berbagai permainan dan mainan tradisional daerah seperti permainan yang berhubungan dengan bumi, gunung, hutan, air atau batu. Inspirasi bagi Zaini adalah ketika dia melihat bahwa anggota staf Bali-nya menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdoa. Ketika ditanya tentang hal itu, dia berkata, “Ketika kamu masih hidup sekarang, kamu berdoa untuk orang lain yang telah meninggal. Itu akan sama nanti untukku. Saat aku mati, orang lain akan mendoakanku. " Ini merupakan titik balik bagi Zaini, yang menggerakkan dirinya untuk mengubah arah hidupnya. Dia memutuskan untuk keluar dari perusahaannya untuk melakukan sesuatu untuk orang lain. Pada tahun 2003, ia kembali ke lingkungan asalnya dan mengajak anak-anak bermain permainan tradisional. Bersama dengan anak-anak, mereka mendirikan Taman Bermain Desa. Dia telah menolak tawaran untuk mengajar di Universitas Australia untuk mengejar visinya di Indonesia.

Ide Baru

Zaini secara kreatif melibatkan komunitas untuk mendidik dan mensosialisasikan generasi pemimpin masa depan melalui mainan dan permainan tradisional. Ia mengidentifikasi dan menyebarkan permainan tradisional sebagai cara untuk meningkatkan empati, kreativitas, dan koneksi anak dengan lingkungan. Zaini mempertemukan anak-anak, orang tua, tokoh masyarakat setempat, dan dewasa muda untuk memastikan bahwa anak-anak memiliki akses untuk bermain dan mengenal anak-anak dari desa lain, mempekerjakan orang-orang muda di pinggiran untuk menjadi instruktur, dan melibatkan masyarakat luas dalam tradisi tradisional. bentuk permainan. Zaini menerapkan pendekatan bercabang tiga: menyoroti nilai-nilai universal dari permainan tradisional, memungkinkan anak-anak bermain di pusat komunitas, dan mengajari masyarakat untuk memproduksi permainan. Oleh karena itu pendekatannya menghargai warisan tradisional Indonesia dengan tetap memperhatikan kebutuhan akan keberlanjutan ekonomi di masyarakat. Untuk menciptakan dampak yang lebih luas, dia bekerja untuk mempengaruhi sekolah untuk memasukkan permainan tradisional ke dalam kurikulum sekolah. Sebagai hasil penelitiannya, ia telah menulis buku-buku tentang mainan dan permainan tradisional dan, mengikuti advokasi kepada pemerintah daerah, buku-buku tersebut telah direproduksi dan didistribusikan ke sekolah-sekolah umum. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat baru-baru ini meluncurkan integrasi permainan tradisional sebagai sesi perkenalan bagi siswa SMA, karena sudah diterapkan di sekolah dasar. Gerakan Guru Bermain, di mana dia mentransfer nilai-nilai dan keterampilan bermain permainan tradisional kepada guru lain, juga telah dibentuk. Ia berharap para guru mengembangkan Komunitas Hong (Koperasi) di wilayahnya masing-masing, yang akan menambah 6 komunitas yang sudah ada di Jawa, Bali, dan Sumatera. Karyanya juga telah diperkenalkan dan dipresentasikan kepada para guru di negara lain. Sebagai pengembangan lebih lanjut dan untuk menunjang pergerakan dengan data dan informasi, Zaini mengembangkan Museum Mainan Indonesia bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung.

Masalah

Indonesia telah melakukan banyak investasi untuk pendidikan, yang secara signifikan meningkatkan akses ke sekolah dasar yang baru dibangun. Namun, menurut sensus nasional 2010, sekitar 3,5 juta anak — kebanyakan perempuan, orang miskin, dan anak-anak kurang beruntung lainnya — tetap tidak bersekolah. Di antara mereka yang menyelesaikan sekolah dasar, sebagian besar tidak memperoleh tingkat keterampilan yang diperlukan. Di desa miskin pinggiran kota Ciburial, Bandung, di mana Zaini telah mendirikan Center pertama, misalnya, banyak lulusan sekolah dasar atau putus sekolah terlibat dalam kegiatan ilegal seperti menarik pembayaran dari petugas parkir mobil atau motor atau sewa senter dari pengunjung di taman nasional terdekat. Masyarakat miskin perkotaan lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari daripada memastikan anak-anak bersekolah. Di masa lalu, anak-anak menjadi orang dewasa yang kreatif, inovatif, berjiwa sosial, dan berakar pada budaya yang dekat dengan lingkungannya melalui permainan. Sayangnya, kini para orang tua lebih memilih anak berada di rumah dan tidak memperbolehkan mereka bermain permainan tradisional di luar atau memastikan masyarakat menyediakan taman bermain di lingkungan sekitar. Di rumah, anak-anak lebih suka menghabiskan sebagian besar waktunya dengan menonton televisi atau, bagi mereka yang mampu, bermain game digital. Banyak yang menyalahkan game elektronik untuk merangsang anak-anak dan remaja menjadi kekerasan dan anti-sosial. Meskipun demikian, orang tua mengizinkan mereka untuk memainkan permainan ini daripada bermain di luar dengan anak-anak lain. Sistem pendidikan belum mendorong anak untuk bermain dan belum fokus pada peningkatan hasil belajar, terutama melalui bermain. Dahulu anak-anak belajar banyak tentang sains dan alam melalui permainan. Meskipun penelitian ilmu saraf menyatakan bahwa anak-anak memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang kuat melalui permainan, guru tidak menggunakan sumber daya yang belum dimanfaatkan ini.

Strateginya

Zaini tidak menampik game atau televisi digital tetapi percaya bahwa anak-anak belajar dari berbagai hal dan tempat, tidak harus terbatas pada pengajaran di dalam kelas. Misalnya melalui permainan, anak-anak dapat mengetahui arah angin dengan menerbangkan layang-layang, bermain permainan tangan untuk menjalin kontak mata langsung dan memahami perasaan orang lain, serta sadar akan kapasitas lengan seseorang saat melempar batu. Penelitiannya mengidentifikasi sekitar 900 permainan tradisional dari berbagai provinsi di Indonesia yang sebagian besar sudah tidak dipraktikkan lagi. Ia mengeksplorasi mainan dan permainan tradisional ini dari ingatan lisan dan tradisi tertulis dari manuskrip kuno serta bekerja sama dengan guru-guru setempat. Dia kemudian mengumpulkan temuan ini dan menerbitkan buku untuk masyarakat luas tentang berbagai permainan, nilai intrinsik dan tujuannya, cara bermain dan cara membuat mainan tradisional. Namun bagi Zaini, mengoleksi dan mendokumentasikan permainan tradisional hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. Tujuannya adalah agar anak-anak memperoleh keterampilan sosial dan motorik utama melalui mereka, serta pengetahuan tentang diri mereka sendiri, teman sebaya, dan lingkungan. Berkaca pada masa kecilnya sendiri, dia merasa kebutuhan belajar dasar ini adalah bagian penting dari perkembangan karakter anak. Sejarah inisiatifnya adalah pada tahun 2003, ia memulainya dengan mengajak anak-anak Ciburial bermain permainan tradisional dan membuat mainan tradisional. Ia kemudian menggerakkan masyarakat untuk bersama-sama mengembangkan taman bermain (Pekarangan Ulin) dan mempromosikan permainan tradisional kepada masyarakat luas. Zaini kemudian bekerja dengan media dan membantu meningkatkan minat publik. Pada tahun 2005, Zaini mereplikasi ide tersebut di desa pedesaan Subang. Dengan cara ini dia melibatkan dua komunitas yang berbeda untuk anak-anak di daerah pinggiran kota dan pedesaan yang dia hubungkan sehingga mereka dapat saling belajar. Anak-anak dari Subang yang masih berlatih permainan tradisional menjadi tutor bagi anak-anak Ciburial. Memanfaatkan jaringan ini, Zaini menjalankan festival permainan dan mainan tradisional yang melibatkan lebih banyak anak dari berbagai tempat. Pada tahun 2009, taman bermain desa tersebut berevolusi menjadi Komunitas Hong (Komunitas Hong), yang melibatkan pendekatan wirausaha masyarakat untuk lebih berperan aktif bagi anak-anak serta melibatkan masyarakat luas. Zaini juga belajar bahwa melibatkan orang dewasa dan orang tua sangat penting untuk memastikan bahwa anak-anak mendapat kesempatan bermain. Oleh karena itu, dia mendukung komunitas untuk membangun Komunitas Hong dan mengembangkan usaha komunitas dalam mempromosikan permainan dan mainan tradisional sambil mengembangkan pariwisata berbasis komunitas. Dia melatih penduduk setempat untuk mengatur acara, mengoperasikan dan memelihara taman bermain. Meskipun awalnya, semua permainan difasilitasi secara gratis, Komunitas Hong sekarang memungut biaya kepada pengunjung dari luar desa untuk mempertahankan inisiatif tersebut. Komunitas kemudian mengelola pendapatan yang diperoleh oleh Komunitas Hong. Keuntungan ini didedikasikan untuk memastikan bahwa anak-anak miskin yang putus sekolah melanjutkan sekolah melalui pinjaman pendidikan yang diberikan kepada orang tua dan bahwa anak-anak memiliki akses ke perawatan kesehatan. Namun, baik orang tua maupun Komunitas Hong sepakat bahwa pembayaran tersebut adalah untuk orang tua yang mengizinkan anak mereka bermain dan atau menemani pengunjung bermain. Sedikitnya 50 anak putus sekolah kembali bersekolah. Inisiatif ini juga menciptakan lapangan kerja bagi pemuda setempat serta perempuan dan anggota masyarakat yang lebih luas. Zaini melatih pemuda setempat untuk memproduksi mainan tradisional. Beberapa sudah mengembangkan bisnis mainan tradisionalnya sendiri. Saat pengunjung datang ke Komunitas Hong, wanita membuka warung makan atau melayani mereka. Mereka juga membuka penginapan home base bagi pengunjung yang ingin bermalam. Kaum muda bergabung dengan Komunitas Hong sebagai instruktur permainan atau fasilitator untuk lokakarya mainan tradisional. Taman bermain juga digunakan sebagai tempat pertemuan komunitas untuk pertemuan mingguan. Zaini saat ini telah melibatkan 5 komunitas. Pemerintah telah memperbanyak dan mendistribusikan buku-buku tersebut ke seluruh sekolah setelah Zaini melakukan advokasi kepada Gubernur Provinsi Jawa Barat. Pemerintah dan beberapa sekolah swasta juga meminta Zaini untuk melatih guru mereka. Karena besarnya minat para guru untuk mengintegrasikan permainan tradisional ke dalam kurikulum, Zaini mengembangkan Gerakan Bermain Guru. Di kabupaten tempat pelatihan berlangsung, misalnya, ia mengajak para guru untuk melakukan penelitian lokal untuk mengidentifikasi permainan tradisional di daerah mereka. Dia kemudian melatih mereka tentang manfaat permainan tradisional, keterlibatan masyarakat, model usaha, dan cara kerja inisiatif secara keseluruhan. Mereka kemudian memutuskan di mana setiap taman bermain akan ditempatkan. Zaini membantu para guru dan sekolah melakukan advokasi kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan dukungan. Visi Zaini adalah memiliki setidaknya satu Komunitas Hong di setiap provinsi. Dia saat ini didukung oleh Industri Kreatif dan Kementerian Pariwisata. Untuk memvalidasi karyanya, Zaini saat ini sedang mengambil gelar PhD yang terkait langsung dengan inisiatifnya dan bekerja dengan antropolog dan psikolog untuk mendokumentasikan dampak bermain permainan tradisional pada anak-anak.