Your Privacy

Changemaker Library uses cookies to provide enhanced features, and analyze performance. By clicking "Accept", you agree to setting these cookies as outlined in the Cookie Policy. Clicking "Decline" may cause parts of this site to not function as expected.

Budi Setiawan
IndonesiaAshoka Fellow sejak 2022

Sementara ekowisata adalah tren yang berkembang dalam industri pariwisata, kepemilikan industri tetap ada pada mereka yang memiliki modal. Budi Setiawan telah meredefinisi ekowisata, dengan menciptakan model baru yang mengalihkan kepemilikan kepada masyarakat dan menciptakan praktik yang berkontribusi terhadap pemulihan dan konservasi lingkungan di Indonesia.

#Pariwisata#batu karang#Filipina#Lingkungan alami#Ekologi#Eropa#International Union for Conservation of Nature#pendidikan

Orang

Budi lahir pada tahun 1976 di Pulau Belitung, dekat hutan, sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Ia dibesarkan oleh ayah dan ibu seorang guru dan kepala sekolah yang menjalankan usaha kecil membuat dan menjual jajanan tradisional. Budi terinspirasi oleh dukungan ayahnya terhadap pendidikan anak-anaknya, meski mereka harus meninggalkan pulau itu. Budi mengagumi kegigihan ayahnya yang setiap hari harus bersepeda sejauh 42 km pulang pergi sekolah. Dia ingat ibunya membudidayakan penyu di bawah rumah yang terbengkalai, memanen telur secukupnya untuk memberi makan anak-anaknya, dan meninggalkan sisanya untuk ditetaskan. Ibunya dan saudara-saudaranya juga membudidayakan rumput laut untuk menambah penghasilan. Dia ingat ayahnya mengatakan kepadanya bahwa lingkungan telah dengan murah hati memberi orang sumber daya untuk hidup, jadi mereka harus hidup seimbang dengan alam. Semasa SMP, Budi membantu ayahnya menjual es loli sepulang sekolah dan pendapatannya digunakan untuk biaya lebaran. Pengalaman bersama ayahnya inilah yang menjadi awal pengenalan Budi untuk berwirausaha. Ia meninggalkan pulau itu untuk belajar Bahasa Jerman di Universitas Padjadjaran, Bandung karena ingin bepergian ke luar negeri. Di universitas ia sangat aktif dalam kegiatan sosial kemahasiswaan termasuk menginisiasi klub lingkungan mahasiswa yang disebut Blue Hikers sebagai saluran hobi mahasiswa untuk menjadi usaha yang lebih profesional. Saat menjalankan kegiatan tersebut, Budi mengalami tragedi ketika temannya meninggal akibat gigitan ular. Ia kemudian bergabung dengan Korps Relawan Palang Merah Indonesia dan belajar banyak tentang aspek medis untuk mendukung kegiatan lingkungannya. Untuk mendukung keuangannya untuk studinya, ia mulai mendapatkan uang sebagai pemandu wisata. Dia melakukan magang di berbagai agen wisata hingga menjadi pemandu bersertifikat. Dia membangun kapasitas dan jaringan pariwisata karena dia membayangkan suatu hari nanti dia ingin menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Pada tahun 1996, krisis ekonomi melanda Belitung yang berdampak pada para pelajar yang belajar di luar pulau. Budi kemudian mengumpulkan teman-temannya untuk melakukan sesuatu yang konkret untuk keluarganya di kampung halaman. Dia mulai menjalankan bisnis daur ulang kertas yang terbuat dari gulma. Usaha lingkungannya berjalan dengan baik dan berkembang hingga mencakup kota-kota lain, dan pada tahun 1997, ia mendaftarkan kelompoknya sebagai Kelompok Peduli Lingkungan Belitung (KPLB). Semangatnya untuk bekerja dalam pelestarian lingkungan dan memberdayakan masyarakat lokal berlanjut dengan beberapa tantangan. Pada 2016, resor komunitasnya di Pulau Kepayang terbakar akibat pesaing bisnis pariwisata kotor yang ingin menguasai seluruh pulau. Dengan propaganda negatif yang disebarkan, resor komunitas runtuh dan Budi sendiri mengalami luka akibat ancaman fisik. Dia menangani kasus ini dengan organisasi hak asasi manusia nasional lainnya. Dia diundang oleh PBB selama Hari Laut Sedunia dan memberikan kesaksian tentang kasusnya. Namun, Budi mengambil pilihan untuk tidak menempuh jalur hukum dan melawan karena mengingat ayahnya berpesan kepada anak-anaknya untuk kuat dalam keadaan baik maupun buruk. Dengan ketekunan yang kuat, Budi mendaftarkan organisasi lamanya dan mengubahnya menjadi Tarcius Center Indonesia pada tahun 2019, di mana ia terus mengembalikan apa yang hilang dan bertahan dalam membangun sektor ekowisata Indonesia.

Ide Baru

Di tengah tren ekowisata saat ini yang dilakukan dengan investasi modal tinggi oleh perusahaan swasta dan dilakukan di unit individu dalam masyarakat, Budi Setiawan menciptakan pola model ekowisata berbasis komunitas yang dimiliki oleh koperasi lokal dan informal di mana wisatawan memiliki dampak minimal terhadap lingkungan. dan berkontribusi pada praktik konservasi. Misalnya, dengan melakukan penghijauan sebagai upaya rehabilitasi lahan bekas tambang, Budi membuat destinasi wisata atau pusat rekreasi baru. Hal ini juga mengurangi tekanan terhadap lingkungan karena masyarakat menjadi garda terdepan dan penjaga lingkungan. Budi memanfaatkan kekuatan manusia dan planet serta menghadirkan keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan lingkungan. Model-model ini membutuhkan investasi yang rendah dari masyarakat karena memobilisasi sumber daya lokal yang ada. Misalnya, dalam mengembangkan resor bahari, Budi menggerakkan lansia yang memiliki rumah tua yang menarik secara budaya namun kondisinya masih bagus dan dijadikan homestay. Orang yang memiliki perahu akan menjalankan taksi laut. Kebanyakan orang melakukan ini sebagai penghasilan sampingan dari pekerjaan mereka yang ada. Apalagi di saat krisis pandemi, Budi membantu masyarakat menciptakan pendapatan alternatif baru seperti beternak lebah madu hutan, dimana masyarakat menjaga hutan lindung sekaligus mendapatkan penghasilan dari memelihara lebah madu. Aliran pendapatan alternatif dari model-model tersebut telah membuat masyarakat menjadi tangguh secara ekonomi. Dengan ini, Budi sedang membangun praktik konglomerat sosial di Indonesia untuk melindungi lingkungan dari kerusakan lebih lanjut dan masyarakat dari bahaya. Dengan praktiknya, ia tidak hanya membalik konsep konglomerat, dari sektor privat ke sektor sosial, tetapi juga kepemilikan dari privat ke komunitas kolektif. Ditambah dengan pengembangan model mobilisasi sumber daya lokal, Budi menerapkan pendekatan “dari tidak ada menjadi ada”. Dia memimpin kampanye lingkungan dan promosi pembangunan kembali habitat Tarcius Belitung (Cephalopachus Bancanus Saltator) yang terancam punah – spesies primata endemik Pulau Belitung. Setelah penelitian mendalam dan panjang, Budi berhasil memasukkan Belitung Tarcius ke dalam direktori International Union for Conservation of Nature (IUCN). Hal ini membuat Pulau Belitung diakui sebagai United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Global Geopark – kawasan terpadu yang memajukan perlindungan dan pemanfaatan warisan geologi secara berkelanjutan dan mendorong kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat. Tidak hanya mengajak masyarakat untuk ikut dalam kampanye, Budi juga telah memulihkan habitat Belitung Tarcius dan menjadikannya sebagai tujuan wisata. Saat ini, Budi telah mengembangkan sekitar 20 destinasi ekowisata di kepulauan Bangka Belitung, enam di antaranya sudah mandiri secara finansial. Selanjutnya, ada lima destinasi baru di pulau lain di seluruh Indonesia. Budi juga berencana meniru model tersebut di kawasan Asia Tenggara termasuk Filipina. Untuk memberikan dampak yang lebih luas dari model tersebut, Budi saat ini sedang mengkaji Roadmap Ekowisata Indonesia yang diminta ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Masalah

Meskipun pertumbuhan ekowisata, jenis pariwisata yang berpusat pada konservasi ekologis, telah menjadi salah satu tren yang berkembang dalam industri pariwisata, praktik tersebut masih mengasingkan masyarakat lokal dari sektor tersebut. Saat ini, ekowisata menyumbang 35% dari seluruh pendapatan Indonesia dari sektor pariwisata. Indonesia memiliki banyak potensi ekowisata kelas dunia; Namun, masih banyak konflik kepentingan yang menjadi masalah antara pelaku usaha ekowisata dengan masyarakat lokal, terutama mengenai pembagian keuntungan dan aksesibilitasnya, apalagi kepemilikan usaha tersebut. Selain itu, keberadaan ekowisata masih memberikan dampak negatif, baik terhadap sumber daya lingkungan maupun terhadap nilai sosial budaya lokal. Selama berabad-abad, kepulauan Bangka Belitung, bagian dari Sabuk Timah Asia Tenggara, menjadi pusat operasi penambangan timah, yang menjadikan Indonesia pengekspor timah terbesar di dunia. Terjadi pula konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di nusantara. Saat ini, terbatasnya pilihan pendapatan alternatif telah menjadi pendorong utama bagi masyarakat setempat untuk terlibat dalam industri pertambangan secara ilegal. Akibatnya, kepulauan Bangka-Belitung mengalami deforestasi dan reklamasi pascatambang yang gagal, yang menyebabkan hilangnya habitat spesies primata endemik seperti Belitung Tarcius. Meskipun ada kawasan lindung yang didedikasikan untuk habitat spesies langka, Tarcius Belitung telah menyebar untuk hidup di kompleks masyarakat dan lahan pertanian. Kecuali tindakan perlindungan khusus diambil, spesies ini akan terus berada dalam bahaya kepunahan. Selain itu, penambangan timah lepas pantai sayangnya telah mencemari laut dan merusak terumbu karang. Akibatnya, ikan menjadi langka, yang memicu konflik horizontal antara nelayan dan penambang atas sumber daya. Pariwisata menjadi fokus pembangunan pemerintah di kepulauan Bangka Belitung sebagai alternatif dari pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Namun sayangnya, praktik pariwisata telah membuat masyarakat lokal menjadi lebih rentan akibat pengalihan kepemilikan masyarakat atas tanah, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta aset pemerintah daerah kepada investor. Sayangnya, banyak bisnis pariwisata melabeli diri mereka sebagai ekowisata meskipun tidak dalam praktiknya. Paling sering, baik pariwisata konvensional maupun ekowisata cenderung mengendalikan bisnis rantai nilai dari hulu ke hilir. Dalam industri ini, masyarakat setempat dipekerjakan sebagai pekerja oleh perusahaan wisata untuk memberikan pelayanan kepada konsumen wisata. Apalagi, perusahaan wisata seringkali tidak mengikutsertakan perempuan, anak muda, atau orang tua karena dianggap tidak produktif. Perusahaan pariwisata seringkali membahayakan hukum adat setempat yang mengatur dan memandu bagaimana manusia hidup selaras dengan alam. Mengingat degradasi lingkungan dan ancaman lebih lanjut untuk masa depan, tidak ada langkah-langkah dalam mendidik masyarakat tentang pentingnya melestarikan sumber daya alam. Pemerintah daerah dan masyarakat setempat memiliki keterlibatan yang terbatas dalam tindakan perbaikan untuk reklamasi pascatambang, termasuk perlindungan dan konservasi sumber daya alam. Dalam hal pembangunan ekonomi, masyarakat belum terpapar pada mobilisasi sumber daya lokal yang belum dimanfaatkan melalui ekowisata sebagai pendapatan alternatif.

Strateginya

Sementara ekowisata hanya digunakan sebagai label pemasaran, Budi memperkuat masyarakat untuk memiliki dan mengelola ekowisata berbasis masyarakat, membawa masyarakat lokal ke garis depan upaya pelestarian lingkungan yang kongkrit. Pola ini telah membawa nilai tambah bagi organisasi masyarakat sipil lingkungan yang ada yang hanya berfokus pada advokasi konfrontatif atau bahkan kecenderungan ekofasis yang berfokus pada orang sebagai masalah atau penghambat kemajuan lingkungan. Budi mengembangkan tiga intervensi untuk mencapai visinya membawa masyarakat lokal ke garis depan konservasi sumber daya alam sambil mendapatkan keuntungan ekonomi sebagai imbalannya. Intervensi pertama adalah melibatkan masyarakat lokal sejak langkah pertama, untuk mengembangkan model destinasi ekowisata berbasis masyarakat yang memberikan pendapatan alternatif bagi masyarakat setempat, terutama para penambang dan penebang liar lokal. Model tersebut dikembangkan sebagai tindakan perbaikan untuk lingkungan alam yang telah hancur dan tindakan konservasi untuk melindungi sumber daya alam dari kerusakan lebih lanjut. Proses pemberdayaan meliputi visi masyarakat, melakukan pemetaan sumber daya dan pengembangan rencana bisnis ekowisata berbasis masyarakat, simulasi dan evaluasi uji coba, dialog masyarakat dengan pemangku kepentingan utama untuk berbagi peran dan mengimplementasikan bisnis sosial, termasuk mengamankan lokasi, dan memobilisasi kemitraan melalui investasi. Komunitas menangani pembentukan tim pengorganisasian, membangun jaringan, meningkatkan keterampilan mereka, dan membangun rasa kepemilikan komunitas termasuk pembagian keuntungan. Dengan demikian, model Budi telah memungkinkan masyarakat lokal untuk bekerja secara langsung dengan para pelancong, memotong perantara dalam industri, sehingga biayanya lebih rendah dan lebih banyak keuntungan yang langsung masuk ke masyarakat. Model tersebut memiliki ketahanan yang meningkat terutama di masa pandemi Covid karena ditetapkan sebagai aliran pendapatan alternatif. Dengan slogan “From Ridge to Reef”, Budi mengimplementasikan berbagai model pariwisata berbasis masyarakat di seluruh pulau sebagai intervensi keduanya. Di pintu masuk hutan lindung Gunung Tajam, misalnya, Budi menyiapkan destinasi wisata, Wisata Alam Batu Mentas Pulau Belitung. Tujuan wisata menawarkan orang kesempatan untuk tinggal di penginapan ramah lingkungan atau tempat berkemah, dan mencoba tubing sungai, trekking hutan, zip-lining, berjalan di kanopi hutan, dan menonton tarsius. Lokasi tersebut dikelola dan dimiliki oleh masyarakat di zona penyangga hutan lindung yang bermitra dengan Pengelola Taman Hutan Raya. Selain itu, Budi telah melibatkan 20 keluarga mantan pembalak liar yang kini menjadi petani lada dan menjalankan agrowisata lada. Mereka juga menjadi pemandu wisata selama musim panen lebah madu hutan, dan memandu trekking hutan dan river tubing. Secara kreatif, Budi menyiapkan tempat ini agar masyarakat bisa merasakan langsung alam, sekaligus melakukan pemantauan lapangan untuk menjaga hutan dari pembalak liar. Di Pulau Kepayang Nusantara, Budi memberdayakan masyarakat nelayan untuk mengembangkan dan memiliki resort berbasis masyarakat yang memiliki eco-lodge dan pusat konservasi terumbu karang dan penyu. Budi bekerja sama dengan nelayan yang melakukan illegal fishing dengan melakukan pengeboman dan penggunaan potasium untuk membayar hutang kepada rentenir. Proses pemberdayaan dilakukan melalui model bisnis-ke-bisnis murni dimana nelayan memasok ikan hias dan Budi serta organisasi membeli ikan. Usaha tersebut dijadikan entry point untuk secara bertahap mengembangkan konservasi terumbu karang dan memperluas wisata selam terumbu karang. Nelayan ini dilatih cara menangkap, mengemas, dan mengirim ikan. Tiga orang ahli didatangkan untuk melatih mereka menyelam secara profesional, membuat alat pancing ramah lingkungan, dan cara mengemas ikan. Nelayan juga dilatih bagaimana mengikuti sertifikasi Marine Aquarium Council (MAC) untuk memasuki pasar Eropa. Nelayan berkelompok untuk bergotong royong dan dengan menjalankan usaha ikan hias, belajar bahwa memelihara terumbu karang memberikan nilai ekonomi. Mereka juga belajar secara mendalam tentang berbagai jenis terumbu karang, serta cara melakukan transplantasi dan perbanyakan terumbu karang. Nelayan ini telah melakukan penanaman kembali terumbu karang untuk 11.000 terumbu karang di berbagai tempat atas inisiatif mereka sendiri. Mereka juga menjadi ahli dalam menyelam dan menjadi pemandu selam bersertifikat. Akhirnya, komunitas nelayan mendirikan pusat selam dan membentuk komunitas pemandu wisata selam kolaboratif. Para nelayan juga mengembangkan penangkaran penyu di pulau tersebut untuk melestarikan populasi penyu dan membentuk kelompok untuk mengelola konservasi penyu. Resor berbasis komunitas ini telah memicu anggota masyarakat lainnya untuk menjadikan rumahnya sebagai homestay. Banyak dari mereka adalah warga lanjut usia yang memiliki rumah arsitektur tua yang memiliki nilai budaya yang kaya bagi wisatawan. Yang lain membuka restoran sebagai bisnis untuk menyediakan makanan bagi para turis yang datang. Yang punya perahu menyewakan taksi air. Ekowisata berbasis masyarakat ini semakin membuka peluang kerja bagi pemandu, perusahaan pariwisata, pembuat kerajinan tangan, perusahaan persewaan mobil, dan sejumlah layanan lainnya. Tujuan dari resor berbasis masyarakat ini adalah untuk melindungi pulau dan sumber daya laut dari operasi penambangan lepas pantai, tetapi juga menciptakan peluang kerja dan keamanan bagi penduduk pulau setempat untuk beralih dari pekerjaan yang tidak berkelanjutan sebagai penambang ilegal, ke pekerjaan yang lebih aman dan ramah lingkungan. . Budi juga mengembangkan reklamasi lahan melalui reboisasi di areal bekas tambang timah di Pulau Belitung yang terbengkalai bersama mantan pembalak dan penambang liar. Situs tersebut sekarang menjadi Taman Hutan mandiri yang juga berfungsi sebagai “bank benih” yang melestarikan pohon-pohon asli yang terancam punah. Selain itu, ia juga mengembangkan Desa Wisata Kreatif Terong yang mendapatkan penghargaan sebagai desa wisata unggulan dari Kementerian Pariwisata. Tambak bekas tambang timah telah diubah menjadi tambak. Destinasi wisata tersebut kini dilengkapi dengan fasilitas penunjang kuliner dan budaya serta homestay yang dikelola oleh masyarakat. Ada sekitar 60 keluarga yang diberdayakan. Di Pulau Selat Nasik, wisatawan dapat mengunjungi pusat konservasi mangrove dan mengikuti tur perahu untuk melihat mangrove dan situs restorasi mangrove. Selain fasilitas tersebut, Budi dan timnya telah memberdayakan masyarakat setempat dengan mendirikan lebih dari 50 homestay di 10 desa di seluruh kepulauan Belitung. Model serupa juga telah dikembangkan di berbagai tempat termasuk Bukit Pao Georeserve, Purun Resort Pulau Seliu, Community Dive Center Pulau Buku Limau, dan masih banyak lagi. Menyusul mobilisasi masyarakat dan pelestarian lingkungan, strategi ketiga Budi adalah pendidikan publik dan advokasi kebijakan. Budi bekerja sangat erat dengan pemuda untuk menanamkan pentingnya keterlibatan pemuda dalam memulihkan dan melestarikan lingkungan. Ia mengembangkan kurikulum lingkungan sekolah yang sudah terintegrasi di banyak sekolah di Kepulauan Belitung, termasuk sekolah yang membawa siswanya untuk terlibat dalam pendidikan lingkungan secara sukarela di kawasan Wisata Alam Batu Mentas. Tema pendidikan lingkungan meliputi mengenal flora dan fauna Belitung, berteman dengan sungai, laut, penyu, dan terumbu karang, mengenal tumbuhan obat dan tumbuhan lokal, fotografi dan pembuatan video edukasi, daur ulang sampah, dan kegiatan outbond. . Bermitra dengan sekolah, Budi membantu membentuk kelompok siswa agar mereka dapat terlibat aktif dalam kegiatan lingkungan termasuk Klub Siswa Lingkungan, Pramuka Siswa, Klub Siswa Pendakian Gunung, dan banyak lagi. Sebagai bagian dari langkah kampanye, Budi mengangkat pentingnya melestarikan habitat bagi kehidupan Belitung Tarcius. Ia bekerja sama dengan anak muda melalui kegiatan ‘Tarcius Goes to School’ di mana para siswa dapat melakukan penelitian, membuat video untuk kampanye advokasi pelestarian spesies, atau bahkan ikut serta dalam acara nonton malam Belitung Tarcius. Untuk menjalankan jaga malam Tarcius, Budi membuat kesepakatan dengan para petani yang menjalankan perladangan berpindah (teknik bercocok tanam bergilir di mana lahan dibersihkan untuk ditanami kemudian dibiarkan beregenerasi setelah beberapa tahun). Setiap bergilir, para petani menyisakan satu hektar hutan untuk tempat tinggal Tarcius Belitung. Sebagai imbalannya, para petani akan mendapatkan penghasilan lebih dari menjalankan ekowisata wisata jaga malam Belitung Tarcius. Sejak tahun 2006, Budi bersama masyarakat nelayan dan mitra CSO (Organisasi Masyarakat Sipil) telah melakukan advokasi kepada pemerintah dan melobi pembentukan kawasan konservasi laut di pantai barat Belitung. Ia membangun kerja sama dengan pemerintah daerah, provinsi, dan nasional untuk mengusulkan rancangan peraturan tersebut. Keberhasilan organisasi Budi dalam melakukan proyek restorasi terumbu karang, konservasi penyu, dan ekowisata telah mendorong dukungan dan kepercayaan pemerintah terhadap inisiatif kebijakan tersebut. Selain itu, Budi juga bekerja sama dengan para ilmuwan dan masyarakat setempat dalam memetakan habitat laut, mengumpulkan data hasil ikan tahunan, dan mempromosikan teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan menggunakan skema dana bergulir untuk membuat teknologi inovatif terjangkau oleh nelayan. Budi dan timnya mengadakan pertemuan besar pemangku kepentingan pada Hari Terumbu Karang Nasional tahun 2011, menghasilkan pencanangan resmi Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Belitung yang meliputi zona non-fishing dan zona perikanan berkelanjutan. Peraturan zona konservasi laut ini memberikan perlindungan hukum terhadap perluasan penambangan timah ke kawasan tersebut dan melarang praktik penangkapan ikan yang merusak yang sebelumnya umum terjadi di kawasan tersebut. Atas usahanya Budi menerima Penghargaan Pesisir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2012. Tidak hanya masyarakat mendapatkan sumber pendapatan baru, model ini juga mengubah perilaku mantan penambang liar dan penebang liar menjadi pelindung lingkungan yang sudah rusak dan mendukung proses pemulihan. Model ini juga melindungi lingkungan dari kerusakan lebih lanjut. Budi terus memperluas model di nusantara. Saat ini ada sekitar 20 destinasi ekowisata berbasis masyarakat, enam di antaranya sudah mandiri secara finansial. Masih ada delapan lagi yang masih dalam pengembangan, di antaranya tiga di Pulau Bangka, dua di Pulau Belitung, dan tiga di Bengkulu, Luwu, dan Toba. Dari model ini, Budi telah menjangkau sekitar 1.500 orang yang terlibat dalam berbagai peran, sebagai pemandu, penyedia homestay, pengemudi taksi perahu, petani agrowisata, industri rumah tangga, dan agen perjalanan. Bermitra dengan Jaringan CSO Telapak, ada lima model ekowisata berbasis masyarakat yang telah dikembangkan di luar Kepulauan Bangka Belitung antara lain Raja Ampat, Sorong Selatan, Pulau Komodo, Lombok, dan Aceh. Atas usahanya tersebut, Budi mendapatkan Tourism for Tomorrow Award 2019 di Spanyol dari lembaga pariwisata tertinggi dunia World Trade and Tourism Council (WTTC). Budi mengetahui bahwa Belitung Tarcius (Cephalopachus Bancanus Saltator) – spesies primata endemik Pulau Belitung terancam punah namun belum terdaftar dalam direktori International Union for Conservation of Nature (IUCN). Budi dan rekan penelitinya melakukan studi telemetri ekstensif untuk mempelajari ekologi Belitung Tarcius, termasuk ukuran wilayah jelajah, kepadatan populasi, kelimpahan serangga, dan substrat untuk pergerakan dan pemilihan habitat Belitung Tarcius. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi sumber daya penting untuk kelangsungan hidup dan adaptasi tarsius di Pulau Belitung yang harus berkontribusi pada tindakan konservasi spesies tersebut, termasuk meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat setempat. Setelah penelitian bertahun-tahun, Budi akhirnya berhasil memasukkan Belitung Tarcius ke dalam direktori spesies terancam punah International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2010. Hal ini membuat Pulau Belitung diakui sebagai Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( UNESCO) Geopark Global. Pemerintah daerah dan masyarakat setempat telah melakukan promosi bersama dan menjadikan habitat khusus Belitung Tarcius sebagai salah satu tujuan wisata berkelanjutan.

Budi Setiawan Budi Setiawan